halopedeka.com - Pada akhir November lalu, Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan target yang ditetapkan Badan Pangan Nasional ‘tidak akan terpenuhi’ untuk stok beras. Hal itu disebabkan stok beras yang sudah tidak ada dan harganya sudah tinggi, kata Buwas.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaludin Iqbal, menyebut pada bulan April Bulog sudah melakukan penyerapan sampai 200.000 ton beras, lantas pada Mei sebanyak 138.000 ton dan pada Juni sebanyak 146.000 ton.
Penyerapan Bulog untuk stok beras pada Juli dan Agustus mengalami penurunan, yaitu sekitar 73.000 ton dan 33.000 ton. Secara umum, kata Iqbal, Bulog melakukan penyerapan di masa-masa panen raya.
Di bulan-bulan selanjutnya, Iqbal menjelaskan, pemerintah sampai menaikkan HPP dari Rp8.300 menjadi Rp8.800 agar Bulog bisa melakukan penyerapan beras, meski pada akhirnya kenaikan itu malah membuat harga beras di pasar naik.
“Karena periode itu sebetulnya bukan pada periode penyerapan, tetapi periode kita justru harus melakukan penyaluran atau melakukan intervensi pasar,” kata Iqbal terkait penyerapan Bulog yang sulit.
Beras-Bulog-tidak-tersalurkan" class="bbc-1aaitma eglt09e0" tabindex="-1">Beras Bulog tidak tersalurkan
Senada dengan Andreas, Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, mengatakan penyerapan beras oleh Bulog memang tidak berjalan dengan baik.
Pertama, soal Bulog sempat menyinggung soal HPP. Pemerintah menetapkan HPP yang lebih murah dibandingkan harga pasar, akibatnya Bulog tidak bisa membeli beras yang ada di petani karena harganya dinilai terlalu mahal.
Namun Hasran mengatakan seharusnya HPP tidak dijadikan alasan karena pada akhirnya pemerintah menaikkan HPP agar Bulog tetap bisa menyerap beras dari petani.
“Awal-awal musim panen HPP-nya lebih rendah dibandingkan harga pasar, Bulog tidak beli juga ujung-ujungnya. Bulog juga tidak serap habis-habisan, kan?” tambah Hasran.
Kedua, soal aturan baru dalam penyaluran bantuan kepada masyarakat. Bulog tidak lagi ditunjuk pemerintah untuk mendistribusikan bantuan pangan non-tunai karena pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial, membuka peluang pasar bebas untuk terlibat.
“Otomatis ketika yang distribusi bukan cuma Bulog, Bulog mengalami kerugian karena beras mereka tidak tersalurkan. Ini mungkin penyebabnya mengapa Bulog menyerap lebih sedikit,” kata Hasran kepada BBC News Indonesia.
Perbedaan data
Keputusan pemerintah untuk mengimpor 200.000 ton beras untuk memenuhi cadangan beras juga dipertanyakan lantaran menurut Badan Pusat Statistik (BPS) stok beras surplus sekitar 1,7 juta ton. BPS mengatakan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Iqbal mengatakan stok yang dimaksud BPS itu, yang terbesar, ada di rumah tangga. Sementara, stok yang ada di Bulog—yang harus dipegang negara untuk cadangan ketika ada lonjakan harga, bencana alam, dan kebutuhan pemerintah lainnya—memang benar-benar sudah menipis.
“Itu berbeda konteksnya dengan surplus itu hitungannya beda. Karena surplus itu total stok yang ada di masyarakat, penggilingan, pelaku usaha perberasan, di Bulog, dan perhitungannya adalah produksi saat itu dikurangi dengan konsumsi pada saat itu,“ kata Iqbal.
Bedakan dengan kebutuhan masyarakat
Guru Besar IPB, Dwi Andreas Santosa, mengingatkan masyarakat bahwa ketika pemerintah menyatakan kondisi cadangan beras pemerintah kritis, itu tidak berarti stok yang ada di masyarakat juga kritis.
Sumber: BBC Indonesia
Artikel Terkait
Sorgum Jadi Alternatif untuk Antisipasi Krisis Pangan Global
Kimpul, Alternatif Pangan Pengganti Beras yang Mudah Ditanam
Cetak Petani Milenial dan Sagu Center Masuk 7 Program Prioritas Unhas
Multi Manfaat dan Nutrisi Tinggi Daun Kelor Yang Perlu Diketahui