Sederet Masalah di Balik Wacana Pembedaan Harga Tiket KRL

Pramesti Utami
- Jumat, 3 Februari 2023 | 12:00 WIB
Ilustrasi KRL commuter line. Foto: PT KAI
Ilustrasi KRL commuter line. Foto: PT KAI

halopedeka.com - Tempo hari, Kementerian Perhubungan sempat mengeluarkan wacana pembedaan harga tiket Commuter Line (KRL) yang menggegerkan publik.

Pasalnya, harga tiket KRL atau moda transportasi yang ditumpangi ratusan ribu warga aglomerasi ibu kota per harinya itu rencananya akan dibedakan berdasarkan kelompok pendapatan para pengguna. Mereka yang dianggap cukup ‘kaya’, atau berasal dari golongan ekonomi kelas menengah atas, harus membayar tiket lebih mahal.

Tujuan pembedaan harga tiket KRL ini adalah agar skema subsidi public service obligation (PSO) lebih tepat sasaran dan dinikmati oleh mereka yang betul membutuhkan.

Ini menimbulkan banjir komentar warganet, yang kebanyakan kurang sepakat dengan ide ini. Sebab, sebagai moda transportasi massal, KRL mestinya bisa dinikmati merata oleh semua kalangan.

 

The Conversation Indonesia berbicara dengan dua orang pakar terkait rencana pembedaan tiket KRL ini, dan mendaftar sejumlah masalah yang akan terjadi jika wacana ini betul diterapkan.

1. Siapa mereka yang dianggap kaya?

Menurut Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), masalah pertama yang mendasar terkait tiket KRL ini adalah soal pendataan. Pertama, bagaimana pemerintah menerapkan studi kelayakan untuk memastikan bahwa harga tiket baru KRL akan sesuai dengan kebutuhan menutup subsidi. Jika kenaikannya tidak seberapa, bisa jadi kebijakan ini tak ada gunanya diterapkan. Jika kenaikannya terlalu tinggi, ini berlawanan dengan semangat transportasi publik yang bisa dimanfaatkan semua orang.

Pendataan soal kelas pendapatan dari pemerintah juga kerap tak bisa diandalkan, misalnya terkait penerima bantuan sosial. Menurut Adinda, ini menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana pemerintah mengukur mereka yang dianggap kaya?

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam keterangan resminya pada akhir tahun lalu, menyebut bahwa penumpang kaya yang naik KRL adalah mereka yang berdasi.

“Jadi nanti yang sudah berdasi, kemampuan finansialnya tinggi, harus bayar lebih tinggi. Kalau yang average, sampai 2023 kita rencanakan tidak naik,” ujarnya.

Entah berdasi ini metafora atau sungguhan, yang jelas belum ada kepastian seperti apa kelas sosial ini akan ditentukan.

Menurut Adinda, pembedaan ini sulit diberlakukan mengingat dalam kondisi resesi global sekarang, orang-orang dihadapkan pada ketidakpastian. Bisa saja status ekonomi mereka berubah sewaktu-waktu.

Belum lagi, kebijakan macam ini berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial dan entitlement (merasa berhak) di dalam gerbong, entah dari mereka yang membayar lebih atau yang menerima subsidi, karena merasa transportasi publik ini ditujukan untuk mereka.

2. Kebijakan diskriminatif, tapi mutu layanan?

Menurut Adinda, wajar jika harga tarif layanan publik termasuk tiket KRL diperbaharui secara berkala sesuai dengan kebutuhan.

Halaman:

Editor: Pramesti Utami

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Kiat Kemnedag Stabilkan Harga Minyak Goreng

Jumat, 17 Maret 2023 | 15:00 WIB

Tol Solo - Yogya Siap Layani Pemudik Lebaran 2023

Jumat, 17 Maret 2023 | 12:00 WIB

Harga CPO Terus Naik, Minyak Makan Merah Jadi Alternatif

Minggu, 26 Februari 2023 | 09:00 WIB
X