Negara Miskin Paling Terdampak Pemanasan Global, Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Pramesti Utami
- Jumat, 24 Maret 2023 | 12:00 WIB
Ilustrasi perubahan bumi karena iklim (Pete Linforth)
Ilustrasi perubahan bumi karena iklim (Pete Linforth)

halopedeka.com - Dahsyatnya pemanasan global telah menyebabkan bencana alam yang lebih ekstrem dan membuat negara-negara miskin terpukul. Negara-negara kaya seperti Jerman pun dituntut membayar kompensasi kerusakan dan kerugian tersebut. Mengapa?

 
Perubahan dahsyat akibat pemanasan global di Kenya membuat Eric Njuguna marah. Aktivis lingkungan berusia 20 tahun itu menyaksikan bagaimana kekeringan terburuk dalam 40 tahun terakhir yang terjadi di kawasan itu telah merenggut mata pencaharian, rumah bahkan hidup orang-orang disana.

"Kemarahan saya muncul karena dampak pemanasan global membuat kami haus dan lapar. Saya juga marah karena tahu bahwa kami bukan penyebab utamanya, tapi negara dan komunitas kami yang menanggung bebannya,” kata Njuguna kepada DW dari ibukota Kenya, Nairobi.

Kenya memang termasuk di antara negara-negara yang paling terpukul oleh cuaca ekstrem yang dipicu oleh pemanasan global di muka planet Bumi. Tapi mereka bukan satu-satunya.

Kekeringan juga telah membawa jutaan orang di Tanduk Afrika ke jurang kelaparan. Sementara Filipina dilanda badai dahsyat yang semakin merusak. Dan, pemanasan global juga mengakibatkan musim panas kali ini, 1.500 orang tewas akibat hujan ekstrem yang membanjiri sebagian besar wilayah Pakistan.

"Kita memang bisa menyesuaikan diri terhadap beberapa situasi, tapi melihat krisis iklim yang semakin parah, ada situasi yang kita tidak mampu lagi untuk menyesuaikan diri,” ujar Njuguna. "Ini harus dibayar,” tambahnya.

Seruan agar negara-negara kaya memberikan kompensasi dalam bentuk dana khusus untuk menutupi biaya kerugian dan kerusakan alias loss and damage akibat pemanasan global pun semakin keras.

Konsep loss and damage

Konsep loss and damage (kerugian dan kerusakan) pertama kali diperkenalkan oleh Alliance of Small Island States pada konferensi iklim internasional di Jenewa tahun 1991. Mereka mengusulkan skema asuransi atas kenaikan permukaan laut dengan biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara industri.

Usulan tersebut tidak dipertimbangkan secara serius hingga tahun 2013, tepatnya di konferensi iklim COP19 di Warsawa, Polandia. Dalam konferensi tersebut, Mekanisme Internasional Warsawa untuk Kerugian dan Kerusakan pun dibuat dengan tujuan meningkatkan pengetahuan tentang masalah tersebut dan mencari cara untuk mengatasinya. Namun, hanya ada sedikit tindak lanjut sejak saat itu.

Pada konferensi iklim PBB di Glasgow, Skotlandia tahun lalu, para negosiator juga menolak proposal dari kelompok G77 yang terdiri dari lebih dari seratus negara berkembang dan Cina atas kerugian formal dan kerusakan fasilitas keuangan yang mereka alami. Sebagai gantinya, Dialog Glasgow dibentuk untuk memungkinkan diskusi lanjutan mengenai pendanaan dengan "cara terbuka, inklusif dan non perspektif”. Dialog tersebut kemudian banyak dikritik sebagai "alasan untuk menunda tindakan lebih lanjut.”

 

Negara-negara kaya tak tepati janji?

Secara historis, negara-negara maju punya tanggung jawab paling besar atas emisi yang menyebabkan naiknya suhu global. Disebutkan bahwa antara tahun 1751 dan 2017, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan Inggris bertanggung jawab atas 47% emisi karbon dioksida kumulatif, sangat jauh bila dibandingkan dengan total emisi karbon di seluruh Benua Afrika dan Amerika Selatan yang hanya mencapai 6%.

Meski tanggung jawabnya paling besar, negara-negara maju tersebut justru lambat memberikan kontribusi keuangan untuk mengurangi beban negara-negara yang paling terdampak pemanasan global

Pada tahun 2010, negara-negara maju dari Global Utara memang telah sepakat menjanjikan $100 miliar setiap tahunnya dimulai tahun 2020 untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Tetapi menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), negara-negara kaya itu hanya mengucurkan $83 miliar pada tahun 2020. Walaupun ada peningkatan 4% dari tahun sebelumnya, bantuan itu masih jauh dari jumlah yang disepakati.

"Alih-alih hanya mengatasi masalah kemiskinan dan pendidikan, mereka harus segera mengambil langkah untuk mengatasi perubahan iklim,” ujar Marlene Achoki, salah satu pemimpin kebijakan global tentang keadilan iklim di LSM Care International. "Mereka harus mencari sumber daya, keuangan untuk membangun ketahanan masyarakat,” tambahnya.

Halaman:

Editor: Pramesti Utami

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Setiap Dua Minggu, Satu Bahasa Hilang dari Muka Bumi

Rabu, 22 Februari 2023 | 15:00 WIB

Riset: Penggunaan HP Bisa Memicu Kanker

Selasa, 7 Februari 2023 | 12:00 WIB

Apa Rahasia Umur Panjang hingga 100 Tahun

Selasa, 24 Januari 2023 | 19:00 WIB

Menguak Kemampuan Kognitif pada Binatang

Jumat, 13 Januari 2023 | 15:00 WIB

Terpopuler

X