halopedeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila), Karomani, bersama sejumlah pejabat kampus tersebut sebagai tersangka kasus suap seleksi mahasiswa jalur mandiri tahun 2022.
Rektor Unila diduga mematok “harga” Rp 100-350 juta untuk meloloskan mahasiswa masuk ke kampusnya. Ia mengantongi total dana suap hingga Rp 5 miliar.
Korupsi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan kedok penerimaan jalur mandiri sudah lama menjadi rahasia umum. Proses seleksinya yang cenderung tertutup membuka ruang bagi kampus untuk menerapkan praktik “transaksional”.
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch, kasus suap penerimaan mahasiswa baru hanyalah 1 dari 12 pola korupsi Perguruan Tinggi Negeri atau PTN di Indonesia.
Seleksi mahasiswa di berbagai belahan dunia memang rentan terhadap praktik korupsi dan suap.
Ini terlihat dari penyuapan masif di beberapa kampus top Amerika Serikat (AS) pada tahun 2019 yang dijuluki skandal “Varsity Blues”, hingga korupsi pimpinan Unila di Indonesia. Keduanya bahkan memiliki kesamaan motif: aktor intelektual dengan pengaruh dan kekuasaan mengumpulkan biaya besar dari orang tua yang putus asa untuk memasukkan anak mereka ke universitas bergengsi.
Saya melihat bahwa praktik korupsi dalam rekrutmen mahasiswa baru, yang harusnya berbasis merit dan keadilan, kini semakin gencar di tengah meningkatnya iklim kapitalisme akademik. Demi menjaga marwah perguruan tinggi, kita perlu mendorong perubahan secara sistemik.
Subjektivitas jalur mandiri
Penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Tujuannya agar PTN memiliki jalur alternatif selain SNMPTN dan SBMPTN untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa tiap institusi.
Kriteria jalur ini memang diumumkan secara transparan. Namun, UU PT memberi ruang bagi Perguruan Tinggi Negeri atau PTN untuk mengatur seleksinya sesuai kepentingan pribadi institusi, sehingga bisa memiliki subjektivitas tinggi dan kerap mengabaikan kriteria kompetensi.
Subjektifitas ini bisa kita lihat dalam kasus suap Unila tahun 2022. Karomani memerintahkan bawahannya untuk menyeleksi calon mahasiswa baru secara personal, salah satunya dengan menimbang gaji dan kesanggupan orang tua mereka membayar sejumlah uang.
Ditambah dengan kuota yang terbatas (maksimal 30%) dan peminat yang membludak, penerimaan mahasiswa pada jalur ini seringkali berdasarkan favoritisme, kekerabatan, dan potensi pundi-pundi uang keluarga para mahasiswa.
Jalur mandiri di lingkup Perguruan Tinggi Negeri atau PTN terkadang juga mengandung berbagai skema khusus – seperti ‘Jalur Olimpiade/Olahraga’, ‘Jalur Afirmasi’, atau bahkan ‘Jalur Daerah 3T’.
Penelitian pakar sosiologi AS, Jerome Karabel , mengungkap bahwa jalur penerimaan mahasiswa afirmasi dari berbagai latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi kerap menjadi sekadar kedok untuk meningkatkan prestise institusi – ketimbang benar-benar sebagai bentuk komitmen kampus terhadap inklusivitas dan keberagaman.
Gencarnya kapitalisme akademik
Maraknya aksi aktor intelektual di balik korupsi penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri atau PTN juga muncul salah satunya akibat perguruan tinggi di Indonesia yang kini makin neoliberal atau didekte oleh pasar.
Misanya, tuntutan pasar untuk menjadi ‘kampus kelas dunia’, adanya pelimpahan kewenangan dari negara kepada PTN terutama yang berbadan hukum (PTN-BH) untuk mengelola keuangan sendiri, serta berkurangnya alokasi dana hibah, membuat banyak Perguruan Tinggi Negeri atau PTN mencari sumber dana alternatif untuk senantiasa berinvestasi demi meningkatkan keunggulan institusi.