halopedeka.com - Rapat Paripurna DPR, pada Selasa (21/3/202) sepakat untuk mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu CIpta Kerja) menjadi Undang-Undang.
Dalam rapat tersebut, 2 (dua) fraksi yakni Fraksi Demokrat dan PKS menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang.
Terhadap pengesahan Perppu Cipta Kerja LBH Jakarta berpandangan DPR telah mengkonfirmasi ketidakberpihakannya terhadap suara-suara rakyat terkhusus kelas pekerja/buruh dan tidak mempertimbangkan pemenuhan syarat penetapan Perppu Cipta Kerja secara objektif dan berbasis keilmuan (scientific).
Adapun terhadap keputusan pengesahan Perppu Cipta Kerja DPR RI, LBH Jakarta memberikan catatan sebagai berikut:
Pertama, Presiden memilih jalan pintas untuk memberlakukan kembali Omnibus Law Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja yang muatan materinya identik (10 klaster) jika kita melihat dalam penjelasan umum dan Pasal 184 pada Perppu Cipta Kerja yang juga tetap memberlakukan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.
Selain itu, tindakan Presiden tersebut juga telah melanggar Konstitusi karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yaitu perbaikan terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Hal lain yang paling serius terkait Perppu Cipta Kerja adalah Presiden RI dan DPR RI secara bermufakat mengulang masalah pembentukan undang-undang yang cacat formil dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat, bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dan tidak dilaksanakan dengan partisipatif publik yang bermakna," ujar Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum dalam pernyataan tertulisnya.
Pelanggaran itu menurut Citra sejak tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Kewajiban konstitusional tersebut, ditegaskan dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020
Kedua, DPR dinilai gagal untuk menguji pemenuhan syarat dalam hal Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja. Presiden dan DPR RI bermain-main dengan penafsiran dan pemenuhan syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yakni,
(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
(ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
(iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”.
Jika mengukur kemendesakan, Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan jangka waktu yang cukup selama dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan sejak putusan diucapkan yang akan jatuh pada 23 November 2023.
"Alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi karena masih terdapat UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang dianggap berlaku pasca dinyatakan inkonstitusional oleh pemerintah, berbeda dengan apa yang diyakini masyarakat," tegas Citra.
Artikel Terkait
Perppu Cipta Kerja Dinilai Rugikan Buruh, Ini Penjelasan Menaker
Ribuan Buruh dan Mahasiswa Akan Demo Tolak Perppu Cipta Kerja